Pendidikan Sejarah (Universitas Jember)

indonesia raya


Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Peranan Amerika dalam Pembentukan Negara Indonesia




Peranan Amerika dalam Pembentukan Negara Indonesia

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Dr. Suranto, M.Pd.

Tugas Individu


Oleh:
RENY PUTRI ADITIYA
120210302004



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS JEMBER
2014


Prakata

Puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan karunai-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Peranan Amerika dalam Pembentukan Negara Indonesiayang merupakan salah satu dari komponen nilai tugas individu mata kuliah Sejarah Amerika pada Progam Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas jember.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.  Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.      Dr.Suranto, M.Pd. selaku Dosen pengampu mata kuliah Sejarah Amerika  yang telah membimbing;
2.      Teman-teman yang telah memberi dorongan dan semangat;
3.      Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.  Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.



Jember, 8 Mei 2014




Penulis



BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat merupakan negara super power atau dapat disebut sebagai negara adidaya hingga saat ini. Negara dengan sistem pemerintahan republik federal ini telah menjadi negara yang memiliki kekuatan militer, ekonomi, dan memiliki kekuatan politik serta teknologi yang tinggi. Pasca- Perang Dunia II dan Perang Dingin, negara yang sering disebut Negeri Paman Sam ini terus maju menjadi negara yang menguasai perindustrian, bahkan pengaruh negara ini semakin luas hingga menjadi pusat teknologi dunia setelah pecahnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Dan setelah Uni Soviet sebagai Blok Timur mengalami keruntuhan, Amerika Serikat sebagai Blok Barat secara otomatis atau saat itu juga menduduki posisi tertinggi yaitu sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.
Amerika turut terlibat dalam masalah perpolitikan setelah Indonesia merdeka. Hal ini dikarenakan Presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno telah dianggap condong ke Blok Timur yang merupakan musuh dari Amerika. Amerika melakukan berbagai caea untuk dapat membundung ideologi ini akan menyebar keseluruh Indonesia. Negara Indonesia adalah yang paling memiliki kekuatan pada saat itu di Asia Tenggara sebab Indonesia negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam dan posisi Indonesia yang strategis di dunia.
Amerika terlibat dalam masalah perpolitikan Indonesia terlihat setelah Indonesia merdeka yaitu terjadinya pemberontakan PKI di Madiun. Amerika juga sangat menginginkan atau menyingkirkan Presiden Soekarno karean telah dianggap condong ke Blok Barat. Hal ini membuat Amerika sangat geram. Dalam upaya menggulingkan Presiden Soekarno Amerika turut terlibat dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA melalui CIA. Keterklibatan Amerika tidak berhenti dalam hal itu saja namun dalam permasalahan pembebasan Irian Barat, Gerakan 30 September, dan lepasnya Timor Timur. Berbagai keterlibatan Amerika dalam perpolitikan Indonesia akan dibahas lebih lanjut dalam Bab II.

1.2  Rumusan Masalah

1)      Bagimana awal Keterlibatan Amerika dalam perpolitikan di Indonesia  ?
2)      Bagaimana keterlibatan Amerika di Indonesia ?
3)      Bagaimana hubungan Amerika – Indonesia masa sekarang ?

1.3  Tujuan

1)      Mengetahui awal keterliban Amerika dalam berbagai urusan negara perpolitikan di Indonesia
2)      Mengetahui keterlibatan Amerika di Indonesia
3)      Mengetahui hubungan Amerika-Indoensia pada masa sekarang

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Awal Keterlibatan Amerika di Indonesia

Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Sebab itu, menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat” dipandang sangat penting bagi AS. George F. Kennan, Direktur Policy Planning Staff (PPS), pernah berkata kepada Menteri Luar Negeri AS George C. Marshall pada 17 Desember 1948, “Persoalan paling penting dalam pergulatan kita dengan Kremlin sekarang adalah persoalan Indonesia.
Untuk itu AS pun membangun basecamp nya dibeberapa titik :
·         Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan militer di Okinawa-Jepang
·          Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30 Agustus 1951
·           ANZUS (Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1 September 1951
·          Korea Selatan pada 1 Oktober 1953
·            Taiwan pada 2 Desember 1954.
Sejak Indonesia merdeka pada 1945, maka Amerika Serikat sudah mulai terlibat dalam berbagai hal, terutama perpolitikan di Indonesia. Pada awal kemerdekaannya, Indonesia sangat didukung oleh AS. Hal ini terutama disebabkan rasa simpati AS terhadap Indonesia karena AS pun pernah dijajah oleh Inggris dan AS sangat menentang kolonialisme. Namun dalam perkembangannya sikap AS mulai berbalik dan secara diam-diam presiden AS kala itu Harry Truman mendukung kembalinya Belanda untuk berkuasa di Indonesia.
AS berkepentingan langsung untuk turut campur tangan dalam menentukan masalah dalam negeri Indonesia bermula tiga tahun setelah Indonesia merdeka pada 1945.  Adalah konflik senjata yang meletus di Solo, Jawa Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948, yang menyeret langsung AS untuk turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh perang dingin antara dua kutub kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok Timur, setelah merambah daratan Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan adalah kawasan Asia Tenggara.
Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dan geografisnya begitu strategis, menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan Pemerintahan Harry Truman. Belum lagi, pasca Perang Dunia II, konflik yang merebak di Burma, Singapura, Thailand dan Malaysia dengan sponsor dari blok Komunis, membuat AS dengan “politik pembendungannya” (containment policy) merasa cemas  jika Indonesia pun menjadi sulit dikontrol dan akhirnya masuk dalam orbit negara-negara komunis seperti Uni Soviet.
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917 telah mencemaskan AS. Sejak itu pula, AS merancang satu strategi untuk menghancurkan Rusia. “Tanggal 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu komentar rahasia mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan mencerai-beraikan Soviet Uni sudah direncanakan. ”.Dan kita tahu, baru pada tahun 1992 Soviet hancur.
Presiden AS Woodrow Wilson Rencana Wilson saat itu tidak bekerja dengan efektif disebabkan fokus kerja intelijen yang kurang, depresi besar 1930, dan Perang Dunia I dan II. Barulah usai Perang Dunia II AS sungguh-sungguh menyadari betapa Soviet harus dihadapi dengan serius.
Truman Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. Indonesia (istilah dulu “Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Hag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogya kala itu.
Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. “Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.”  Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948

2.2 Keterlibatan Amerika Di Indonesia

Amerika banyak terlibat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang melibatkan negara Paman Sam tersebut.

2.2.1 Campur tangan Amerika dalam menumpas Pemberontakan Madiun  1948

Adalah konflik senjata yang meletus di Solo, Jawa Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948, yang menyeret langsung AS untuk turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh perang dingin antara dua kutub kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok Timur, setelah merambah daratan Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan adalah kawasan Asia Tenggara.
Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme,” tulis Suar Suroso, dalam bukunya Bung Karmo: Korban Perang Dingin banyak temuan baru yang mengarah pada sebuah upaya kolaborasi antara pihak Barat dengan elit pemerintah di dalam negeri pada waktu itu.
Adanya konspirasi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Pertemuan Sarangan” atau “Red Drive Proposals.” Intinya,  pada 21 Juli 1948 di Sarangan (daerah perbukitan di Utara Madiun, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah),  diadakan konferensi rahasia yang dihadiri oleh Merle Cochran (wakil dari AS untuk Komisi Tiga Negara), Hopkins (Penasehat Presiden Truman), serta dari Indonesia adalah Bung Karno, Hatta, Sukiman, Natsir, Moh Rum dan Sukamto.
Maksud dari pertemuan tersebut adalah upaya menyingkirkan kekuatan “kelompok kiri”. Ketika itu, Muso, kader PKI yang lama hijrah ke Uni Soviet, juga telah tiba ke Tanah Air dan mulai menarik simpati masyarakat untuk bergabung ke dalam PKI. Sayap PKI pun saat itu meluas, seperti di Pesindo, Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis, Barisan Tani Indonesia (BTI) hingga Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kekuatan “kelompok kiri” ketika itu berkonsentrasi di Solo (Gubernur Militer Wikana) dan Madiun (basis dari Pesindo).
Semenjak posisi Perdana Menteri beralih dari Amir Sjarifuddin beralih ke Hatta, maka program sapu bersih pun berjalan. Hatta, yang memberikan peluang besar bagi pihak Barat – khususnya Amerika Serikat – untuk berunding, telah memberikan banyak kelonggaran agar posisi Indonesia lebih cepat diakui secara internasional. Itu sebabnya, dalam “Pertemuan Sarangan”, kabarnya, program “sapu bersih” untuk “kelompok kiri” yang ditekankan oleh Amerika Serikat kepada Pemerintahan Hatta disepakati.
Namanu bukti otentik tentang isi dari “Pertemuan Sarangan”  belum dijumpai, tapi indikasi yang menguatkan adanya campurtangan AS ketika sebelum meletus Peristiwa Solo-Madiun begitu nyata.
Bahwa Cochran diberikan wewenang penuh untuk memainkan peran AS yang sesungguhnya dalam membendung pengaruh komunisme internasional. Cochran, juga dibantu oleh Atase Konsuler J. Camphell ketika di Indonesia, yang merupakan agen ruguler CIA pertama bertugas di Indonesia. Cochran pun memiliki akses langsung ke Wakil Menteri Luar Negeri AS Robert Lovett yang sangat berkuasa.
Alhasil, setelah adanya kesepakatan antara AS dan Indonesia, keluarlah keputusan untuk merampingkan tentara, yang disebut dengan Program Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi).  Yang paling terpukul dari program ini adalah kesatuan dari “Kelompok Kiri”, yang di masa itu pasukannya paling banyak dan lengkap persenjataannya, yakni Pesindo di Madiun dan Divisi Panembahan Senopati di Solo. Tiba-tiba lagi, awal Juli 1948, Komandan Divisi tersebut, Kolonel Soetarto yang sangat dikagumi dan disegani oleh pasukan manapun, ditembak mati tanpa diketahui pelakunya.
Mulanya Madiun tidak terpancing. Lambat laun, pasukan dari Siliwangi yang telah masuk ke Solo, pun mulai memasuki  Madiun dan pecahlah perang saudara. Presiden Soekarno turun tangan, dan menjatuhkan ultimatum tegas: pilih dirinya atau Muso? “Kelompok Kiri” akhirnya dipihak yang kalah. Dan yang paling tragis, pada tengah malam 19 Desember 1948, bekas Menteri Penerangan I dan Perdana Menteri ke-2 RI, Amir Sjarifuddin beserta 10 pengikutnya, dieksekusi mati oleh tentara Indonesia sendiri tanpa melalui proses peradilan.

2.2.2  Keterlibatan Amerika dalam  Usaha Menumbangkan Presiden Soekarno

Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS pun membangun basecamp nya. Semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan seksama oleh Presiden RI 1 yang sejak muda sudah menunjukkan kekritisannya. Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS menjadi panglimanya.
Dalam pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS. Atas sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pan- Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali MENYINGKIRKANNYA.
Presiden Soekarno semakin bersemangat mengembangkan politik luar negeri bebas aktif dan non blok, juga intens membina hubungan dengan negara-negara blok timur yang merupakan musuh blok barat pimpinan AS. Ketika Soekarno diundang untuk memberikan pidato di hadapan Kongres AS pada 1956, ia menyatakan bahwa Indonesia berterimakasih atas bantuan AS. Namun ia juga menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan bisa digadaikan dengan suatu bantuan dari pihak asing. Pernyataan ini tentu semakin membuat pihak AS antipati terhadap Soekarno. Apalagi Soekarno pun tidak membendung pengaruh PKI di Indonesia.
Keadaan ini membuat pemerintah AS berencana untuk melaksanakan suatu program untuk membendung pengaruh komunisme di Indonesia. Presiden AS Dwight Eisenhower dan Menlu AS John Fuster Dulles pun mempertimbangkan untuk menggunakan tenaga Central Intelligence Agency (CIA), yang kebetulan diketuai oleh saudara John Fuster Dulles, Allen Dulles, untuk melaksanakan suatu operasi rahasia guna membendung pengaruh komunisme di Indonesia. Maka dimulailah keterlibatan CIA di Indonesia.
Kebijakan  nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik Indonesia  (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar  (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno  memutuskan untuk  menghadapi   Belanda dengan cara frontal, yakni  membatalkan perjanjian KMB secara sepihak.
Maka, di tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara unilateral. Organ-organ yang terkait dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan lainya, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi massa menuntut  pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial Belanda yang belum terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini.
Akhirnya, pemerintah Bung  Karno pun  merespon keinginan massa rakyat tersebut. Hasil rapat Kabinet Djuanda  pada 28 November 1957  menghasilkan beberapa keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah memutuskan untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan Belanda. Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka dibawah pimpinan Bung  Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri kekuasaan ekonomi   Belanda.
Hal-hal semacam inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat menjadi gerah dan gemes terhadap presiden pertama Indonesia, mereka tidak suka dan dengan planning tertentu berusaha untuk memindahkan kedudukan Sukarno dengan orang lain yang tentunya memihak dan mau menjadi penjilat telapak kaki Negara Paman Sam.
Soemitro dan rekan-rekannya dengan berani menentang Bung Karno dan malah bergabung dengan para pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung penuh CIA. November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Bung Karno selamat namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya luka. Pemerintah kala itu mendeteksi jika tindakan makar tersebut didalangi oleh komplotan ektrem kanan yang dimotori Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BraNI), cikal bakal BIN, dan didukung CIA. Dengan tegas Bung Karno mengatakan jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya. Tudingan Bung Karno terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen Senat AS yang diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel Jr—mantan wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi—22 tahun kemudian terungkap jika saat itu nama Soekarno memang sudah masuk dalam target operasi Direktur CIA, Allan Dulles.

2.2.3 Dukungan Besar CIA Terhadap Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Pada akhir bulan Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang pemerintah Pusat, di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan “Dewan Banteng” di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan pertama dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di Medan (Sumatera Utara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintah Pusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil alih pemerintahan dari Gubernur Winarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan “Piagam Perjoangan Semester
(PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel Sumual, menentang pemerintah Pusat.
Tahun 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden.
Pecahnya pemberontakan itu membuat AS bergembira. Menurut mereka, dengan adanya pemerintahan tandingan tentu akan memuluskan niat AS untuk memberantas komunisme di Indonesia, sebab dengan tergulingnya pemerintahan Soekarno oleh para pemberontak maka pemerintahan yang pro komunis menurut mereka tidak akan ada lagi. Oleh karena itu AS mendukung pemberontakan ini dengan mengirimkan bantuan militer dalam jumlah besar. Bantuan ini berupa ribuan tentara angkatan darat yang terlatih, kapal-kapal selam modern serta pesawat-pesawat pengebom beserta pilotnya. Pesawat-pesawat pengebom ini sudah disanitasi dokumen-dokumennya agar keterlibatan AS tidak ketahuan.
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.
Dalam artikel berjudul “PRRI-PERMESTA, Pemberontakan Para Kolonel” yang ditulis Santoso Purwoadi (Angkasa: Dirty War) dipaparkan jika pada malam hari, 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.
Kepada para pemberontak, selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.
Pesan rahasia CIA kepada para pimpinan PPRI agar sebelum mundur dari Riau mereka meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak sempat dilakukan para pemberontak.
Seperti biasanya, awalnya pemerintah AS membantah keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh ironis, tidak sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei 1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Pilot tempur pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope, agen CIA yang sengaja ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung Karno.berhasil ditangkap hidup-hidup.
Atas gertakan AS yang sampai mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7 nya ke perairan Riau, Bung Karno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam AS agar jangan ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. “AS jangan bermain api dengan Indonesia. Jangan sampai kekurangpahaman Amerika menyebabkan meletusnya Perang Dunia Ketiga!”
Bung Karno segera mengirim satu pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di Sumatera. Saat itu RRC telah menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan pemberontakan yang didukung CIA tersebut, namun Bung Karno menolaknya. “Kekuatan angkatan perang kami masih mampu menghadapi para pemberontak itu,” ujarnya. Dan hal itu terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan Ahmad Yani mendarat di Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat konsentrasi para pemberontak—maka kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang berarti.
Bahkan pesan rahasia CIA kepada para pimpinan pemberontak yakni sebelum mundur dari Riau mereka harus meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, ini sama sekali tidak sempat dilakukan. Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas. Sumitro Djojohadikusumo dan sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan meloloskan diri ke Singapura dan tahukah anda, dari ‘Basis Israel di Asia Tenggara’ itulah, kelompok ini terus menggerogoti kekuasaan Bung Karno sampai tumbang
Walau awalnya AS membantah keterlibatannya, namun mantan Dubes AS Howard P. Jones mengakui jika dirinya tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu. Hal ini ditegaskan Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145). Upaya CIA menumbangkan Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari membuat film porno “Bung Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara.
Hal ini menjadikan CIA harus bekerja ekstra keras. Apalagi Bung Karno secara cerdik akhirnya membeli senjata dan peralatan militer ke negara-negara Blok Timur dalam jumlah besar, setelah AS menolak memberikan peralatan militernya. AS tentu tidak ingin Indonesia lebih jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih lunak terhadap Indonesia. Namun walau di permukaan AS tampak kian melunak, sesungguhnya AS tengah melancarkan ‘operasi dua muka’ terhadap Indonesia. Di permukaan AS ingin terlihat memperbaharui hubungannya dengan Bung Karno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk menumbangkan Bung Karno dan menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada kepentingan Amerika.
Di sisi lain, CIA juga menggarap satu proyek membangun kelompok elit birokrat baru yang PRO BARAT yang kini dikenal sebagai ‘Berkeley Mafia’. Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh penting dalam kelompok ini. (untuk hal ini lebih lanjut silakan baca artikel David Ransom: “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”; Ramparts; 1971).
Terbukanya Upeti Besar dari Asia Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira pihak Washington. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini justru digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat. Apalagi di zaman pemerintahan SBY saat ini.
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim yang kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing.
Freeport mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua CEO korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Sejak kegagalan mendukung PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC) lewat CIA terus memantau perkembangan situasi Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga sipil dan militer AS juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang dipersiapkan duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno. Orang yang dijadikan penghubung antara CIA dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik
Untuk membangun satu kelompok militer—terutama Angkatan Darat—di Indonesia yang ‘baru’ (baca: pro Amerika), AS menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort Leavenworth, Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang. (Suroso; 2008; h. 373). AS telah memanfaatkan para pejabat Indonesia PRO BARAT ini untuk memuluskan kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes: A History of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen CIA lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy. Walau yang terakhir ini sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik—dan kawan-kawan-dengan para pejabat AS saat itu adalah suatu fakta sejarah.
Dokumen yang membongkar keterlibatan CIA di dalam peristiwa Oktober 1965, yang pada akhirnya menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Jenderal Suharto. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Suharto. CIA memang memberi daftar target operasi sejumlah 5.000 orang, namun fakta di lapangan jauh di atas angka itu. Kol. Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi. Bukan tokoh PKI saja yang dibunuh, namun juga orang-orang kecil yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban politik kotor konspiratif antara CIA dengan para ‘local army friend’.

2.2.4  Ketelibatan Amerika dalam Gerakan 30 September

Keterlibatan AS secara langsung untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyingkiran Soekarno.  Setidaknya ada dua kepentingan besar AS di Indonesia saat itu. Pertama, AS berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu, yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis, agar kembali ke pangkuan barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi AS melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan, kalau memungkinkan, memperluasnya.
Untuk mencapai dua misi itu, AS punya kepentingan untuk: satu, menghancurkan PKI. Sebab, PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik AS di Indonesia; dua, menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat
Sebelum peristiwa G30S 1965,  AS sudah melakukan sejumlah aksi untuk membendung laju komunisme, politik luar negeri non-blok, dan rencana-rencana pembangunan di Indonesia. Salah satunya adalah keterlibatan AS dalam menyokong militer kanan dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an.
AS juga bekerjasama dengan sejumlah intelektual berorientasi barat di Indonesia, yang kecewa dengan pembubaran Demokrasi Parlementer. Selain itu, pemerintah AS, lembaga-lembaga kemanusiaannya, dan lembaga seperti Bank Dunia mencoba ‘merayu’ Soekarno untuk menerima bantuan militer, ekonomi, dan teknis. Harapan AS untuk membawa Indonesia ke pangkuan barat benar-benar pupus begitu Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Federasi Malaya (federasi bentukan Inggris). Di sisi lain, politik luar negeri Indonesia makin merapat ke Cina.
Pada Agustus 1964,  AS memulai operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Soekarno dan memancing konflik yang tajam antara Angkatan Darat (AD) dan PKI. Saat itu, pihak intelijen AS menyimpulkan bahwa kekusaan Presiden Soekarno mustahil dilawan selama dia masih hidup, “kecuali, tentu saja, jika beberapa teman kita ini mencoba menggulingkannya.”
Awal 1965, ada peristiwa yang membuat AS dan barat makin tidak sabar untuk menghajar PKI dan menggulingkan Soekarno. Pertama, keputusan Soekarno menarik Indonesia keluar dari PBB. Kedua, para pekerja Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI)–yang berada di bawah kendali PKI–untuk merebut perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh US Rubber Company di Sumatera Utara.
Pada saat bersamaan, Februari 1965, Presiden Soekarno, Waperdam III Soebandrio, dan Menteri Perkebunan Frans Seda menyampaikan kepada perwakilan US Rubber Company dan Goodyear, bahwa pemerintah (Indonesia) mengambil ‘kendali administratif’ atas perkebunan-perkebunan karet milik asing dan mendukung pengambilalihan properti milik barat.
AS tentu gerah dengan aksi-aksi tersebut. Karena itu, pejabat AS segera memperingatkan, “Soekarno dan para komandan militer sudah kami beritahu, bahwa begitu terjadi sesuatu yang mengisyaratkan adanya campur tangan terhadap kendali atas Caltex….pengeboran minyak dari Indonesia akan dihentikan.” Ini ancaman yang serius. Maklum, jika pengeboran minyak dihentikan, ekonomi Indonesia makin lumpuh.
Pada Februari 1965, CIA mengusulkan untuk memperluas cakupan operasinya di Indonesia, termasuk hubungan rahasia dengan kelompok-kelompok anti-komunis, black letter operation, operasi media, termasuk kemungkinan aksi ‘radio hitam’ dan politik hitam di dalam lembaga-lembaga politik di Indonesia.
Dari uraian AS dan sekutunya memainkan peran besar dalam memprovokasi situasi di Indonesia. Dugaan bahwa AS dan sekutunya turut bermain dalam isu “Dewan Jenderal” dan “Dokumen Gillchrist” sangat mungkin terjadi. Provokasi-provokasi itu bermakna dua hal: pertama, memancing pendukung Soekarno, termasuk PKI dan Angkatan Bersenjata, untuk melancarkan operasi kontra-kudeta yang prematur; kedua, mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll).
Gerakan prematur yang dilancarkan oleh sekelompok Angkatan Darat (AD) untuk menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, yang ironisnya memperlihatkan Biro Khusus PKI, merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh AD yang anti-komunis dan sekutu internasionalnya (negara-negara kapitalis). Bahwa G30S dijadikan dalih/justifikasi bagi Soeharto, AD, dan pendukung internasionalnya untuk melakukan pembasmian terhadap PKI.
Begitu G30S dipatahkan, tanggal 1 Oktober 1965, pejabat Washington tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan AD tidak menggunakan peluang itu untuk menumpas habis PKI. Kabel CIA tertanggal 17 Oktober 1965 menunjukkan: “CIA memperingatkan bahwa AD boleh jadi cukup puas dengan hanya melakukan tindakan terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pembunuhan Jenderal, dan membiarkan Soekarno memperoleh kembali sebagian besar kekuasaannya.”
Telegram Kedubes AS tanggal 5 Oktober 1965 mengatakan: “pemerintah AS, Inggris, dan Australia berusaha membantu AD dengan menciptakan propaganda mengenai kesalahan, penghianatan, dan kekejaman PKI dan tuduhan mengenai adanya kaitan antara G30S dengan Cina.”
Tanggal 13 Oktober 1965, Menlu AS Dean Rusk menyimpulkan bahwa sudah tiba waktunya untuk memberi isyarat pihak militer (Indonesia) mengenai sikap AS terhadap perkembangan terkini. Menurut Rusk, bersedia dan tidaknya AD menuntaskan aksinya terhadap PKI bergantung pada atau harus dipengaruhi AS.
Pada saat yang sama, ajudan Jenderal Nasution mendekati Dubes AS untuk meminta bantuan peralatan komunikasi portabel untuk keperluan panglima AD. Bantuan Kedubes itu menandai penarikan pengakuan Washington terhadap Soekarno sebagai pemimpin Indonesia yan sah. Artinya, Washington terang-terang memaksakan campur tangan untuk mengganti pemerintahan sah di Indonesia.
Segera setelah itu, mulai terdengar aksi-aksi pembantaian massal nan keji terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tanggal 4 Oktober, Kedubes AS melaporkan bahwa RPKAD di daerah komando Jateng memberi pelatihan dan senjata kepada pemuda muslim. Di sumatera utara dan Aceh, pemuda IPKI dan unsur-unsur anti-kom mulai dorongan sistematis untuk menumpas PKI.
Yang menarik dari ulasan Brad Simpson, Kedubes maupun Konsul AS di Indonesia menerima banyak laporan tentang pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, misalnya: Tanggal 13 November: kepala Informasi Polisi Kol Budi Juwono melaporkan bahwa 50 sampai 100 anggota PKI di bunuh setiap malam di Jawa Timur dan Jawa tengah oleh kelompok sipil anti-komunis atas restu AD. Tanggal 16 November: Pemuda Pancasila memberitahu Konsulat AS di Medan bahwa mereka bermaksud membunuhi setiap orang PKI yang mereka jangkau. Bulan November: missionaris memberitahu konsulat AS di Surabaya bahwa 15.000 komunis dibunuh di daerah Tulungagung saja. Di Pasuruan, Jawa Timur, 2000 buruh pabrik Nebritex–semuanya anggota SOBSI–dibunuh sejak akhir November. Di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, kelompok anti-komunis membantai sedikitnya 3000 anggota PKI setiap minggu.
AS menanggapi pembantaian massal itu dengan antusias. Malah mengintensifkan bantuan kepada tentara dan kelompok anti-komunis. Yang paling menyedihkan adalah komentar pejabat Deplu AS, Howard Federspiel: “Tak ada yang peduli jika mereka disembelih, asalkan mereka komunis.”
Kesimpulannya pertama, AS telah mengeksploitasi G30S sebagai justifikasi untuk menyingkirkan PKI; kedua, AS terlibat dalam mendanai, mengoperasikan, dan mengintensifkan pembantaian massal terhadap orang-orang PKI.
Telegram Kedubes AS tanggal 2 November 1965 mengatakan, “negara-negara barat bersikeras bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan Soekarno dan pendukungnya.”  Negara-negara barat khawatir, selama Soekarno masih berkuasa, AD akan sulit untuk melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai dengan harapan AS dan sekutunya. Untuk itu, pejabat AS mulai memikirkan untuk bagaimana membantu AD menyingkirkan Soekarno.
Salah satu aksi paling efektif yang dilancarkan AS dan sekutunya untuk menjatuhkan Soekarno, adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Langkah yang menyerupai perang ekonomi ini punya makna: 1) membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan mengarahkannya pada posisi kebangkrutan; 2) menciptakan ketidakpuasan populer dikalangan rakyat terhadap situasi ekonomi yang memburuk.
Perang ekonomi itu cukup efektif. Di awal 1966, ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan. Ini dipakai oleh AD dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi menuntut penurunan harga dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno. Yang paling ironis, sekaligus benar-benar licik, adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa Indonesia, yang seharusnya masuk ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong Soeharto dan kelompoknya. Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada Bank Sentral Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama di Belanda. Ironisnya, Menteri Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap perusahaan perkebunan AS yang lain, seperti Goodyear, US Rubber, dll. Ini membuat soekarno benar-benar terjepit.
Dengan situasi ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi mahasiswa kanan yang disokong oleh AD dan didanai AS/sekutunya, popularitas pemerintahan Soekarno merosot. Hingga akhirnya kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966.
Segera setelah kendali kekuasaan sudah di tangan Soeharto/militer, AS dan sekutunya mulai merancang transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’. Pada tahun 1967, disahkanlah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak negara-negara kapitalis barat. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank Dunia, IGGI, dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata kekuasaannya dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan barat.

2.2.5 Keterlibatan Amerika Serikat dalam Lepasnya Timor Timur

Pada awalnya Amerika mendukung integritas Timor Leste dengan Indonesia hal ini disebabkan bawah paham komunis akan menyebar disana sebab salah satu partai yaitu Fretilin memiliki ideologi komunis. Hal inilah yang ditakutkan Amerika Serikat sebagai musuh dari komunisme. Sehingga pengintegrasian dengan Indonesia dianggap akan membendung ideologi tersebut. Ditakutkan jika Timor Timur menjadi negara merdeka maka akan menjadi negara komunis.
Sikap Amerika ini berlawanan dengan saat diadakan referendum di Timor Timur yang akan melepaskan diri dari Indonesia. Amerika mendukung Timor Timur untuk merdeka dan berdiri menjadi negara sendiri. Alasan Amerika adalah bahwa Timor Timur memiliki ladang minyak yang cukup besar sehingga jika tetap masih di bawah NKRI hal tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh Amerika dalam kepentinggan ekonominya. Karena jika Timor Timur lepas dari Indonesia akan lebih mudah dimanfaatkan oleh Amerika sebab Timor Timur baru menjadi negara baru dan SDMnya yang cukup rendah.
Sebagai suatu reaksi atas tekanan dunia internasional, organisasi internasional PBB mengirimkan wakilnya dalam misi yang dinamakan UNAMET. Peran PBB dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di Timor-Leste sudah seharusnya dilihat dari sudut pandang netral dan menyerahkan segala keputusan kepada rakyat Timor-Leste, tetapi ternyata kenyataan dilapangan membuktikan bahwa ada tindakan kecurangan dan keberpihakan UNAMET terhadap kelompok Anti-Intergrasi. UNAMET sebagai perwakilan PBB secara khusus memfasilitasi proses referendum Timor Timur agar berjalan secara adil dan representatif, tapi ternyata diluar dugaan justru kinerja UNAMET sangat mengecewakan. Menurut Jubir UNIF Basilio Dias Araujo, dalam siaran pers UNIF pada 30 Agustus 1999 menyatakan ada konspirasi internasional yang menginginkankan Timor Timur lepas dari Indonesia. Mereka meminjam tangan PBB lewat UNAMET-nya, dan berusaha keras dengan cara apa saja untuk memenangkan kelompok Anti-Integrasi, termasuk dengan membiarkan berbagai kecurangan yang terjadi . Keberpihakan UNAMET juga ditandai dengan banyaknya staf lokal yang direkrut UNAMET yang merupakan pendukung Anti-Integrasi yaitu sebanyak 95%. Tidak hanya sampai di situ, selama proses pelaksanaan referendum juga terdapat banyak keberpihakan yang dilakukan oleh UNAMET secara terang-terangan. Hampir di setiap TPS terjadi pelanggaran, banyak orang asing yang dideportasi karena memprovokasi referendum, UNIF (Pro-Integrasi) juga melaporkan 89 laporan pelanggaran selama referendum, hingga puncaknya pada 30 Agustus 1999 di seluruh Timor Timur terjadi gelombang protes kelompok Pro-Integrasi yang kecewa. Mereka menyaksikan sendiri pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh UNAMET beserta staf lokal selama pencoblosan berlangsung .

2.3 Hubungan Indonesia – Amerika pada Masa Sekarang

Pada era saat ini Indonesia dan Amerika banyak menjalin kerjasama dalam berbagai bidang. Hubungan bilateral ini memiliki berbagai manfaat bagi Indonesia yang merupakan negara berkembang. Kerjasam itu antara lain :
Dalama bidang politik Perkembangan penting hubungan bilateral RI – AS ditandai dengan kunjungan Presiden Barrack Obama ke Indonesia pada tanggal 9 – 10 November 2010 dimana dalam kunjungan tersebut, kedua Kepala Negara telah meluncurkan secara resmi Comprehensive Partnership (CP) RI – AS.  Sebelum CP RI-AS resmi diluncurkan, pada tanggal 17 September 2010 telah dilaksanakan RI – US Joint Commission Meeting (JCM) pertama di Washington.
Dalam bidang Hankam  Pasca pencabutan embargo militer tahun 2005, kerja sama pertahanan Indonesia–AS semakin membaik berkat persepsi positif pemerintah, militer dan parlemen AS terhadap proses reformasi TNI. Bantuan militer AS kepada Indonesia disalurkan melalui program Foreign Military Financing (FMF) dan International Military Education and Training (IMET), khususnya dalam rangka peningkatan kemampuan transportasi TNI dalam penanganan bencana alam serta program peningkatan profesional prajurit.
Kerjasama dalam bidang pembangunan Sejak tahun 2006 Indonesia memperoleh bantuan hibah dalam kerangka Millennium Challenge Corporation (MCC) sebesar US$ 55 juta untuk program imunisasi dan anti korupsi. Pada bulan Desember 2008 Indonesia kembali terpilih mendapatkan hibah serupa melalui program “MCC Compact Program (MCC CP)” untuk periode hingga 2013. Program yang disepakati dalam MCC meliputi: e-procurement, pendidikan dan kesehatan serta natural resources management/REDD+.


BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Amerika sebagai negara adidaya di dunia memiliki peranan dalam pembentukan negara Indonesia. Amerika sudah menaruh perhatian kepada Indonesia setelah Perang Dunia II. Karena Indonesia telah memiliki kakayaan alam dan letaknya yang starategis. Sebab itu, menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat” dipandang sangat penting bagi AS.
Amerika turut terlibat dalam masalah perpolitikan setelah Indonesia merdeka. Hal ini dikarenakan Presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno telah dianggap condong ke Blok Timur yang merupakan musuh dari Amerika. Amerika melakukan berbagai craa untuk dapat membundung ideologi ini akan menyebar keseluruh Indonesia. Negara Indonesia adalah yang paling memiliki kekuatan pada saat itu di Asia Tenggara sebab Indonesia negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam dan posisi Indonesia yang strategis di dunia.
Amerika terlibat dalam masalah perpolitikan Indonesia terlihat setelah Indonesia merdeka yaitu terjadinya pemberontakan PKI di Madiun. Amerika juga sangat menginginkan atau menyingkirkan Presiden Soekarno karean telah dianggap condong ke Blok Barat. Hal ini membuat Amerika sangat geram. Dalam upaya menggulingkan Presiden Soekarno Amerika turut terlibat dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA melalui CIA. Keterklibatan Amerika tidak berhenti dalam hal itu saja namun dalam permasalahan pembebasan Irian Barat, Gerakan 30 September, dan lepasnya Timor Timur.

                                                                                  

Daftar Pustaka











  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar